NGERII...!!! Inilah Pesan Prabu JAYABAYA Pada Kaum Pribumi Tentang Kaum China,,,WASPADALAH...!!!

NGERII...!!! Inilah Pesan Prabu JAYABAYA Pada Kaum Pribumi Tentang Kaum China,,,WASPADALAH...!!!

NGERII...!!! Inilah Pesan Prabu JAYABAYA Pada Kaum Pribumi Tentang Kaum China,,,WASPADALAH...!!!

"Wong Jowo Kari Separo, Cino Londo Kari Sejodo" (Orang Jawa tinggal separuh, Orang Cina dan Belanda tinggal satu pasang)"

Begitulah pesan ngeri Prabu Jayabaya kepada kaum pribumi dan kaum Cina, hingga kini. Barangkali juga bisa menjadi sebuah pesan yang harus kita jaga abadi, hingga esok nanti.

Maka, atas restu dari Eyang leluhur kita Prabu Jayabhaya (Raja Kediri pada 1135-1157) yang termasyhur dengan ramalan Jangka Jayabhaya-nya, bolehlah kita berkisah tentang bocah usia Sekolah Dasar di bawah puing-puing tenda Kampung Luar Batang, Jakarta Utara. Ayah-ibu bocah ini berasal dari daerah Kediri, Jawa Timur. Rumah tinggal bocah yang terletak di kampung Luarbatang ini, telah musnah beberapa bulan lalu oleh sepak terjang Ahok.

Selepas senja, bocah itu sedang khusyuk belajar dengan selembar kertas putih, memegang sebuah jangka untuk membuat lingkaran. Sebelum ia menggunakan alat jangka-nya, ia menuliskan kata “AHOK” di tengah-tengah kertas. Persis di atas kata “AHOK”, bocah itu menancapkan jarum jangka cukup tandas dan dalam, sembari menggeram, lalu ia mulai membuat lingkaran dengan diameter sepanjang 5 cm.

Sebenarnya, guru Matematika-nya di sekolah hanya memintanya membuat lingkaran kecil dan lingkaran besar. Namun, bocah itu selalu menuliskan kata “AHOK” di dalam berbagai lingkaran, kemudian ditusuk dengan jarum jangka-nya. Entah apa maksud anak ini.

Esok harinya, ketika pekerjaan rumah itu dikumpulkan, Pak Guru Matematika terperanjat dan tercenung dengan lingkaran yang dibuat bocah ini.

Ketika guru Matematikanya bertanya, kenapa kata “AHOK” ditusuk dengan jangka, bocah ini malah bercerita kepada gurunya, bahwa pada abad ke 12, kerajaan Kediri dipimpin seorang Raja Agung yang mengalahkan kerajaan Jenggala bernama Jayabhaya. Seorang raja yang selalu dibahas turun temurun dengan ramalan Jangka Jayabhaya-nya.

“Jadi, jangka-mu itu laksana jangka Jayabhaya?” tanya gurunya, sembari tersenyum.

“Iya dong, Pak Guru. Kata raja Jayabhaya, Wong Jowo Kari Separo (orang jawa tinggal separuh), Cino Londo Kari Sejodo (orang Cina dan Belanda tinggal satu pasang). Saat saya memegang jangka ini, saya seperti memegang Jangka Jayabhaya itu. Ngeri sekali....,” ucap bocah itu, dengan wajah pucat pasi, sembari bergidik berulang-ulang.

“Apa hubungan Ahok dengan lingkaran dan jangka-mu?” tanya Pak Guru lagi, penasaran.

“Begini lho, Pak Guru. Ahok itu kan katanya Cina. Sedangkan Ayah-ibuku dua-duanya Jawa. Menurut Pak Guru, apa mungkin etnis-nya Ahok tinggal satu pasang? Apa mungkin etnis-nya ayah ibuku mati separuh dari jumlah sekarang? Saya takut sebuah perang besar akan terjadi, Pak Guru. Kondisi sekarang, setelah penggusuran, suasana setiap hari di kampung seperti terus mau perang. Hampir di semua daerah di Jakarta juga menyatakan perang kepada Ahok. Lihat saja, Ahok terus menerus dihujat dan diancam,” jelas bocah tersebut.

10.000 Etnis Cina Pernah Dibantai di Jakarta

Pertanyaan dan penandasan dari bocah tersebut seperti terus menyergap buluroma tengkuk Pak Guru. Hingga Pak Guru hanya bisa menundukkan kepala. Sebagai penghobi baca, Pak Guru jadi membayangkan suasana dominasi Cina di Jakarta dan Indonesia sekarang ini, mirip seperti dominasi Cina pada periode awal masa kolonialisme Belanda.

Pak Guru paham, pada periode awal kolonialisasi Hindia Belanda oleh Belanda, banyak orang keturunan Tionghoa dijadikan tukang dalam pembangunan kota Batavia di pesisir barat laut pulau Jawa. Keturunan Cina ini juga bertugas sebagai pedagang, buruh di pabrik gula, serta pemilik toko.

Perdagangan antara Hindia Belanda dan Tiongkok, yang berpusat di Batavia, menguatkan ekonomi dan meningkatkan imigrasi orang Tionghoa ke Jawa. Jumlah orang Tionghoa di Batavia meningkat pesat, sehingga pada tahun 1740, ada lebih dari 10.000 orang. Ribuan lagi tinggal di luar batas kota.

Kebijakan deportasi ini diketatkan pada dasawarsa 1730-an, setelah pecahnya epidemik malaria yang membunuh ribuan orang, termasuk Gubernur Jenderal Dirk van Cloon. Epidemik ini diikuti oleh meningkatnya rasa curiga dan dendam terhadap etnis Tionghoa, yang jumlahnya semakin banyak dan kekayaan yang semakin menonjol. Suasananya mirip sekali dengan Indonesia sekarang ini.

Akibatnya, Komisaris Urusan Orang Pribumi Roy Ferdinand, di bawah perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, memutuskan, pada tanggal 25 Juli 1740, warga keturunan Tionghoa yang mencurigakan akan dideportasi ke Zeylan (kini Sri Lanka) dan dipaksa menjadi petani kayu manis.

Lebih gawat lagi, pada tahun 1740 itu, VOC melakukan politik pengurangan jumlah etnis Cina (Tionghoa) di Batavia, karena jumlah etnis Cina melebihi jumlah serdadu VOC. Diperkirakan, pada saat itu, jumlah Tionghoa diperkirakan telah mencapai sekitar 15.000 jiwa atau sekitar 17 persen total penduduk di Batavia.

Kebanyakan kaum Tionghoa pendatang itu tidak dapat memperoleh pekerjaan dan sebagian dari mereka menjadi sumber kerentanan sosial dengan semakin meningkatnya aksi-aksi kejahatan. Akhirnya, VOC membuat larangan, yaitu mencegah etnis Cina untuk memasuki Batavia dan mendeportasi sebagian dari mereka ke luar Pulau Jawa.

Gubernur Jenderal VOC bernama Valckenier, yang mulai memerintah pada tahun 1737, mengambil beberapa langkah untuk mengurangi jumlah etnis Cina di Batavia. Antara lain, menangkapi orang-orang Cina yang tidak memiliki pekerjaan dan tidak memiliki “permisssie brief”. lalu mendeportasi mereka ke Srilangka (Ceylon) dan Tanjung Harapan (Afrika Selatan). Namun, sebagian besar etnis Cina menolak untuk dideportasi, karena mereka mendengar isu bahwa mereka akan dibuang ke tengah laut jika dideportasi keluar Batavia.

Pada tanggal 1 Oktober 1740 malam, Valckenier menerima laporan bahwa ribuan orang Tionghoa sudah berkumpul di luar gerbang kota Batavia. Amukan Cina ini dipicu oleh pernyataannya pada pertemuan dewan, lima hari sebelumnya.

Valckenier dan anggota Dewan Hindia lain sempat tidak percaya hal tersebut. Namun, setelah orang Tionghoa membunuh seorang sersan keturunan Bali di luar batas kota, dewan memutuskan untuk melakukan tindakan serta menambah jumlah pasukan yang menjaga kota. Dua kelompok yang terdiri dari 50 orang Eropa dan beberapa kuli pribumi, dikirim ke pos penjagaan di sebelah selatan dan timur Batavia. Lalu, rencana penyerangan kepada etnis Cina pun dibuat.

Peristiwa detailnya, pada tanggal 7 Oktober 1740, gerombolan-gerombolan orang Tionghoa yang berada di luar kota Batavia melakukan penyerangan dan pembunuhan beberapa orang Eropa. Agar orang-orang Tionghoa di dalam kota tidak bergabung dalam kerusuhan itu, VOC melakukan jam malam dan penggeledahan kepemilikan senjata di rumah-rumah orang Tionghoa. Celakanya, penggeledahan atas rumah-rumah Tionghoa tidak terkendali lagi. Tembakan membabi buta dilakukan oleh VOC.

Pikiran Pak Guru terus hanyut dalam kisah tragedi Kali Angke Jakarta, saat 10.000 etnis Cina di Jakarta dibantai oleh VOC-BELANDA di Kali Angke, pada 9-22 Oktober 1740. Dalam sejarah, peristiwa berdarah itu disebut sebagai Geger Pecinan 1740 dan Sunan Kuning. Konon, nama Rawa Bangke diambil dari kata bangkai, karena begitu banyaknya orang Tionghoa yang dibunuh di sana. Etimologi serupa juga pernah diajukan untuk Angke di Tambora, Jakarta Barat.

Tepat pada 9 Oktober 1740, dimulailah pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia. Diperkirakan, orang-orang Tionghoa yang terbunuh, sebanyak 10.000 orang. Perkampungan Tionghoa dirampok dan dibakar selama delapan hari. Kekerasan dalam batas kota berlangsung dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740. Sedangkan berbagai pertempuran kecil, terjadi hingga akhir November pada tahun yang sama. Bisa kita bayangkan bersama, saat itu, Kali Angke Jakarta penuh tumpukan mayat Tionghoa. Air sungainya pun pekat berwarna merah, penuh genangan darah keturunan Cina.

Perampokan baru berhenti setelah VOC memberi premi kepada tentaranya untuk menghentikan penjarahan dan kembali kepada tugas rutinnya. Sementara, orang-orang Tionghoa yang berhasil lolos dari pembantaian di Batavia melarikan diri ke timur, menyusuri sepanjang daerah pesisir, bergabung dengan komunitasnya di Jawa Tengah untuk melakukan perlawanan terhadap VOC lebih lanjut.

Bukan hanya melakukan pembantaian Cina di Jakarta, VOC pun meneruskan pembantaian etnis Cina ini ke berbagai daerah. Pada masa inilah, para etnis Cina sembunyi di berbagai tempat yang tak terjamah manusia umumnya. Jika saat itu sudah ada teknologi pelacakan yang canggih seperti sekarang, mungkin seluruh Keturunan Cina yang ada di Nusantara bisa mengalami kepunahan.

Maraknya Berbagai Gerakan Menolak Ahok

Pak Guru menjadi yakin, bahwa masa lalu dan masa kini masih bertautan. Dengan demikian, maka adagium “I’histoire se repete” (sejarah berulang) tidaklah sama sekali salah. Sebab, dalam banyak hal, peristiwa sejarah dalam gambaran umumnya berulang juga, kendati tidak sama persis.

Pak guru jadi berpikir, serbuan buruh Cina ke Nusantara di pemerintahan Jokowi ini, yang jumlahnya konon mencapai 10 juta jiwa, suasananya persis seperti serbuan migrasi dari Cina pada masa awal kolonial.
Pak Guru juga melihat situasi masa kini yang semakin panas, seperti dulu. Setelah para wartawan di Jakarta pada minggu lalu memboikot Ahok, Majalah Tempo menghabisi Ahok dengan judul sampulnya yang cukup ganas mengganyang kredibilitas Ahok. Dari minggu ke minggu, Tempo terus menghabisi Ahok. Judul terakhir Majalah Tempo pada Senin, 20 Juni 2016 lalu, lebih ganas lagi, yaitu Duit Reklamasi untuk Teman-Teman Ahok.

Berbarengan dengan berbagai serangan Majalah Tempo dan berbagai media lain kepada Ahok, lima mantan penanggung jawab posko Teman Ahok mengungkapkan adanya dugaan manipulasi salinan KTP untuk mendukung pencalonan Basuki Tjahaja Purnama-Heru Budi Hartono sebagai Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta 2017 di jalur independen. Dugaan manipulasi dilakukan karena mengejar target pengumpulan KTP per pekan sebanyak 140 lembar.

Ahok sudah dicap pendusta ulung oleh banyak kalangan. Tak pelak, ratusan warga di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, yang mengatasnamakan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia, menggelar demonstrasi di Jalan Raya Bandengan, Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis, 23 Juni 2016.

Demonstrasi menolak kedatangan Ahok tersebut dilakukan warga, karena adanya rencana peresmian Ruang Publik Terbuka Ramah Anak di wilayah Bandengan, Jakarta Utara, oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Penolakan tersebut merupakan buntut kekecewaan warga lantaran melihat sikap Ahok yang arogan dan selalu bertindak sewenang-wenang terhadap warga DKI Jakarta.

Senada dengan warga Penjaringan, pada hari yang sama, ternyata warga Bantargebang Bekasi juga memblokade truk sampah DKI Jakarta di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang. Warga yang didukung DPRD kota Bekasi ini melakukan penolakan pengiriman sampah dari Jakarta, karena buntut kekecewaan terhadap kinerja pemerintah DKI.

Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi Ariyanto Hendrata mengatakan, pemerintah DKI Jakarta memaksakan sampah yang berlebihan masuk ke Bantargebang. Sebab, banyaknya sampah itu menimbulkan pencemaran lingkungan yang berdampak kepada warga sekitar. Berdasarkan catatan, tonase sampah setiap hari mencapai 7.000 ton per hari.

Sebagaimana Jangka Jayabaya, Apakah Pembantaian Cina akan Terjadi Lagi?

Berbagai pertanyaan kekuatiran terus meruyak benak Pak Guru, bersama muridnya. Apakah Sejarah Kali Angke akan terulang lagi? Apakah angka dari Prabu Jayabaya akan mewujud?

Pada pembantaian Cina yang dilakukan oleh VOC dengan dibantu oleh pribumi pada 1740, masih menyisakan ribuan keturunan Cina yang lari dan tidak terkejar. Tapi, jika terjadi konflik dan pertikaian fisik yang besar sekarang ini, apakah jumlahnya tidak akan lebih besar di masa modern ini? Dengan alat pelacak yang demikian canggih sekarang ini, apakah kaum pribumi sekarang, bisa jadi dibantu oleh pihak lain, akan bertekad menghabisi kaum-nya Ahok hingga tinggal satu pasang?

Kita semua berharap, berbagai kemungkinan mengerikan itu tidak akan pernah terjadi. Tapi, jika kesewenangan terus dilakukan, kita semua pasti kuatir, saling baku bunuh itu bisa terjadi.

Kini, semuanya tergantung rakyat Jakarta dan Ahok sebagai Gubernur. Apakah kita akan melaksanakan ramalan jangka Jayabaya itu? Atau, kita duduk bersama, atas nama menjunjung tinggi Pancasila dan terus menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bermusyawarah mufakat untuk mencari jalan terbaik.

Bagi Pak Guru, jika sebagian besar rakyat Jakarta memang sudah tidak bisa memaafkan Ahok, maka sebaiknya, demi keselamatan seluruh bangsa Indonesia, Ahok lebih baik mundur saja dari Gubernur dan pencalonan Gubernur DKI Jakarta. Pak Guru yakin, rakyat justru akan menghormati dan merangkul Ahok, sebagai saudara Satu-Bangsa, Satu-Tanah Air, serta Satu-Bahasa.

Jika kebencian kepada Ahok ini terus terjadi, Pak Guru memprediksi, akan terjadi juga ancaman nyata kepada Cina di berbagai daerah lain. Sebab, di masa lalu, kebencian kepada Cina tumpah juga di Solo, Semarang, Surabaya, dan sebagainya. Sehingga, berbagai peristiwa berdarah itu dinamai Geger Pecinan.

Menyadari bahaya itu, dengan kantong matanya yang sudah basah oleh air mata, Pak Guru lalu berbisik pelan ke telinga muridnya. “Nak, mendingan kita gagalkan Ahok menjadi calon Gubernur. Itu lebih baik, daripada tragedi Angke Berdarah berulang dengan lebih parah! Orang Cina bisa hanya tersisa tinggal satu pasang lho, kata Jayabhaya!”

Muridnya pun mengangguk, sembari tersenyum cukup lebar.

"Semoga, Ahok segera membangun rumah kalian di Luarbatang, sebagaimana sediakala, untuk kalian tempati lagi," ujar Pak Guru, sembari memeluk muridnya dengan erat.

Pak Guru dan murid itu, sama-sama berurai air mata. Meskipun tangannya sama-sama mengepal, karena masih menyimpan geram luar biasa.








Sumber : posmetro.info

0 Response to "NGERII...!!! Inilah Pesan Prabu JAYABAYA Pada Kaum Pribumi Tentang Kaum China,,,WASPADALAH...!!!"

Posting Komentar